We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Tidak Ada yang Tidak Mungkin, Jangan Pergi Full Episode

Chapter Bab 136
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 136 Kalung Kristal
“Apa itu?” Tanpa berbalik Finno bertanya dengan dingin.
Meski begitu, Fabian tidak menjawabnya karena dia sudah tahu bahwa demi kalung itu Vivin rela mempertaruhkan nyawanya.
Suatu hari ketika Marthin sedang mabuk, dia mengejek Finno dengan mengatakan jika dia adalah. seorang sampah yang gila
karena cinta karena dia masih menyimpan sebuah kalung kristal murahan meskipun Eva sudah meninggal sepuluh tahun lalu.
Itu artinya Vivin mencoba untuk menyelamatkan kalung itu demi Finno.
Kecemburuan mendidih dalam dirinya seperti halnya kawah yang meluap-luap, jadi Fabian tidak ingin menjawab pertanyaan
Finno. Sebagai gantinya, Fabian menyeringai dan mengusulkan, “Jika kamu penasaran, kenapa kamu tidak bertanya langsung
kepadanya?”
Ketika Finno mendengar hal itu, dia memutuskan untuk pergi karena dia sudah tak ingin membuang waktunya untuk Fabian.
Finno kembali ke kamar Vivin dan melihat kalau dia masih tertidur lelap. Dia terlihat pucat pasi dan alisnya mengerut karena
rasa sakit di lukanya terasa sangat menganggu meski ia sedang tidur.
Melihat hal itu, Finno merasakan jantungnya seperti dihantam oleh belati.
“Sampaikan ke orang di kantor kalau aku akan berhalangan hadir untuk beberapa hari ke depan. Atur sebuah rapat online jika
ada sesuatu yang mendesak atau datang saja ke sini untuk menemuiku secara langsung.” Finno memberikan perintah kepada
Noah dengan tenang.

“Pak Normando...” Noah sepenuhnya kaget karena selama dia menjadi asisten selama bertahun- tahun, dia tidak pernah
melihat seorang Finno Normando melalaikan tanggung jawabnya pada pekerjaan.
Finno tak menghiraukan ekspresi kagetnya Noah dan mendekati Vivin, dia lalu mengusap lembut wajah Vivin dengan jarinya
yang ramping.
Sementara Vivin masih di alam mimpi, dia tiba-tiba merasakan ada tangan yang menyentuh pipinya dengan lembut.
Sepertinya dia mengenali sentuhan ini, lalu dia membuka matanya sedikit demi sedikit dan melihat wajah yang sangat tampan
dalam keadaan yang masih setengah sadar..

Dia memaksa untuk bangun dan mencoba untuk duduk. “Finno?”
Namun, Finno menahan pundaknya untuk tetap berbaring. “Jangan terlalu banyak bergerak. Berbaring saja ya.”
Vivin mengangguk dan mengikuti perintahnya.
1/2
“Bagaimana keadaanmu?” Finno mencoba untuk bersuara setenang mungkin, tapi isyarat untuk meredam amarahnya masih
terselip di bibirnya.
Vivin dapat melihat bahwa ada sesuatu yang janggal meskipun ia tidak tahu apa itu. Dia mengernyit dan bertanya, “Finno, kamu
marah ya?”
Finno terdiam.
Marah Lebih ke arah takut.
Gelombang ketakutan menyeruak di dalam hatinya ketika dia mengetahui bahwa rumah itu terbakar saat dia berada di Amerika,

seperti kejadian sepuluh tahun yang lalu.
Tapi, dia tidak berniat memberitahukan pada Vivin tentang hal itu. Sebaliknya, Finno memegang pergelangan tangannya dan
memeriksa bekas luka bakar di punggung tangannya dengan ekspresi yang sedih.
“Fabian baru saja memberitahuku bahwa kamu kembali ke kamar untuk mendapatkan sesuatu selama kebakaran, kan?” Finno
menjawab pertanyaan Vivin dengan pertanyaan lain.
Tampak terkejut, Vivin tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ya. Aku kembali untuk mendapatkan ini.” Matanya masih buram dari tidurnya, jadi dia meraba- raba saat dia mencoba
mengambil kalung itu dari lehernya. “Kamu pasti khawatir dengan kalung ini, kan?”
Finno tiba-tiba merasakan dingin di telapak tangannya, dan dia kaget saat menyadari bahwa kalung kristal itu sudah ada
ditangannya.
Kepalanya menoleh ke arah Vivin dan di bertanya dengan sebuah pandangan keheranan. “Apa kamu kembali ke kamar hanya
untuk mengambil kalung ini?

Karena pandangannya masih buram, Vivin tidak bisa melihat ekspresi Finno, jadi dia berkata dengan polos, “Ya. Aku pikir kamu
akan mengkhawatirkan kalung itu.”
Finno menggenggam kalung itu dengan erat dan terdiam beberapa saat.
Tidak akan pernah terpikirkan olehnya bahwa sesuatu yang Vivin perjuangkan sampai mempertaruhkan nyawanya adalah
kalung ini.
Merasakan keheningan dingin di ruangan itu, Vivin bertanya dengan cemas karena khawatir, *Finno, mengapa kamu tidak
berbicara? Apakah sesuatu telah terjadi pada kalung itu? Apakah kalung itu rusak akibat kebakaran?”
Vivin kemudian segera memeriksa kalung itu dengan cermat, tetapi kalung itu terlalu kecil, dan penglihatannya kabur, jadi dia
tidak bisa melihatnya dengan jelas.
“Vivin Willardi, apa kamu sudah gila?”
Saat dia menyipitkan mata pada kalung itu, sebuah teriakan terdengar di telinganya.