We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Tidak Ada yang Tidak Mungkin, Jangan Pergi Full Episode

Chapter Bab 72
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 72 Kau Menahanku dalam Kegelapan
Sementara itu, suasana di ruangan Kepala Editor sedang sangat memanas.
Alin berdiri didepan meja Fabian dengan mata melotot dan berkata dengan keras, “Fabian, kenapa kau tidak beritahu aku kalo
Vivin adalah istri baru pamanmu?”
Fabian sangat terkejut saat tahu bahwa Alin sudah mengetahui identitas Vivin. Dia terdiam selama beberapa saat, namun saat
melihat tingkah egois Alin, pancaran rasa tidak sabar ada dimatanya. sebelum dia menjawab, “Aku tidak menyembunyikannya
secara sengaja. Itu bukan hal yang akan aku ucapkan dengan sengaja. Lagipula, mereka juga akan mendatangi pesta akhir
pekan ini. Bukankah kau juga akan tahu pada akhirnya?
Alin menjadi semakin kesal saat dia menyebut pesta itu.
“Dan kau berani mengadakan pesta akhir pekan ini!” Nada suara Alin menjadi lebih nyaring. “Apa kau pernah berpikir betapa
hancurnya aku jika tiba-tiba melihat Vivin di pesta itu? Dan bagaimana aku harus memanggilnya?”
Alin selalu dimanja oleh Haris dan Ema sedari kecil, akibatnya, dia menjadi sulit diatur.
Tapi, agar dia bisa tetap berhubungan baik dengan Fabian, dia selalu mencoba mengendalikan emosinya selama enam bulan

terakhir. Tapi pikirannya tengah menggila kini dan tidak bisa lagi menahan emosinya.
Semua ini adalah karena amarahnya pada Vivin, terutama saat dia berpikir bahwa dia telah menghancurkan sosok Vivin Willardi,
orang yang paling ia remehkan di bumi ini. Sayangnya. Vivin malah memposisikan diri diatas dirinya dan menjadi bibi Fabian,
jadi dia harus melontarkan amarahnya.
“Fabian!” Dia menjadi semakin marah. “Katakan yang sebenarnya sekarang! Apa kau sengaja menyembunyikan ini karena
masih peduli pada Vivin? Apa kau ingin mempermalukanku di pesta akhir pekan!”
Fabian benar-benar kesal dengan Alin, tapi saat mendengar kalimat terakhirnya, ia seolah. mendapat kesabarannya kembali.
“Apa maksudmu?” Dengan tawa mengejek dan sorot mata tajam, dia membalas, “Belum waktunya memberitahumu siapa yang
akan dipermalukan nanti.”
Meskipun bingung, Alin akhirnya tenang.
Dia mengangkat alisnya dan bertanya, “Fabian, apa maksudmu?”

“Tidakkah kau pikir ini anch?” Fabian mulai menyalakan rokoknya dan menghirupnya. “Bagaimana mungkin keluarga Normando
mau menerima wanita seperti Vivin yang punya masalalu kelam dua tahun lalu?”
Alin masih bingung namun segera setelahnya, ia bisa menangkap maksud dari Fabian dan
1/2

kemarahannya langsung sirna. Ia malah terlihat tertarik sekarang. “Fabian, apa maksudmu pamanmu belum tahu tentang
kejadian dua tahun lalu?”
“Dia tahu.” Wajah Fabian tiba-tiba saja muram tanpa disadarinya.
Lagi, Alin masih bingung. “Lalu kenapa dia masih mau...”
“Ini bukan masalah paman Finno.” Fabian merasa sangat kesal dan langsung memotong perkataan Alin begitu saja. “Ini tentang
kakekku. Untuk orang veteran sepertinya, kebaikan adalah hal pertama yang ia nilai dari orang-orang.
Tidak mungkin dia mau menerima wanita dengan masalalu buruk seperti Vivin.”
Alin dengan cepat merasa senang. “Lalu, apa rencanamu?”
“Aku akan memberitahu kakek yang sebenarnya soal Vivin di pesta itu.”
“Itu saja?” sedikit kekecewaan timbul di wajah cantik Alin.
Fabian mengernyit bingung. “Kau pikir apa?”
Dibawah tatapan tajam Fabian, Alin tertawa lucu. “Aku hanya bertanya.”
Yang terpenting. Alin merasa lega setelah tahu kalau Fabian pasti juga akan memberi perhitungan pada Vivin.
Bukankah itu berarti Fabian sudah tidak memiliki rasa pada Vivin?
Meskipun memalukan karena Vivin bisa berhubungan dengan Finno, setidaknya Finno itu lumpuh. dan dengan penjelasan
mengenai peristiwa dua tahun lalu, Vivin pasti akan ditolak oleh keluarga Normando.
Alin merasa jauh lebih baik setelah memikirkan hal tersebut..

Sadar bahwa dia sudah hilang kendali sedari tadi, Alin terlihat menyesal dan berjalan mendekati Fabian. Dia duduk
dipangkuannya dengan senang, dan berkata, “Fabian, maafkan aku. Aku tidak. harusnya hilang kendali. Apa kau marah
padaku?”